Sabtu, 04 Juni 2011

Biaya Politik Mahal, Politisi Rampok Uang Negara

Artikel berikut berisi informasi terkait yang mungkin menyebabkan Anda untuk mempertimbangkan kembali apa yang Anda pikir Anda mengerti. Yang paling penting adalah untuk belajar dengan pikiran terbuka dan bersedia untuk merevisi pemahaman Anda jika perlu.
JAKARTA, KOMPAS.com - Korupsi politik berawal dari politisi. Biaya politik yang mahal terutama untuk pemilihan umum, memaksakan para politisi melakukan berbagai cara termasuk korupsi.

Demikian disampaikan pengamat politik dari Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, dalam diskusi "IndonesiakuDibelenggu Koruptor" di Warung Daun, Jakarta Selatan, Sabtu(04/06/2011).

"Korupsi politik awalnya dari politisi. Itu segalanya harus benar-benar diperhatikan. Biaya untuk jadi politisi ini semakin mahal. Ada yang menyatakan biayanya Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar untuk jadi anggota DPR. Ada juga yang menyatakan tidak kurang dari setengah miliar. Kemudian ada yang bilang, kalau rajin di lapangan (saat kampanye) maka biaya hanya ratusan juta. Ini yang memaksakan mereka untuk melakukan berbagai cara untuk memenuhi biaya politiknya," ujar Ikrar dalam diskusi itu.

Menurut Ikrar, seorang Wakil Ketua DPR pernah menuturkan kepadanya bahwa seringkali anggota DPR yang tidak memiliki bisnis selain menjadi anggota dewan yang melakukan upaya-upaya untuk korupsi. Namun Ikrar tidak menyebut siapa Wakil Ketua DPR RI yang dimaksudnya.

"Saya pernah mendengar sumbernya Wakil Ketua DPR RI katanya 'saya masih punya bisnis jadi bisa membiayai biaya politik. Teman-teman yang enggak punya duit itulah yang mereka lakukan (korupsi)'. Jadi bukan mustahil terjadi korupsi di lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan," ungkapnya.

Ketika menjadi politisi di Senayan, lanjut Ikrar, berbagai upaya untuk korupsi bisa saja dilakukan para anggota dewan. Salah satunya dengan menyedot dana dari APBN terutama untuk proyek atau tender tertentu.

"Anggaran paling banyak diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Di situ dimark-up misalnya nilainya Rp 300 miliar dinaikan menjadi Rp 500 miliar. Sisanya Rp 200 miliarnya untuk mereka," paparnya.

Kadang-kadang aspek yang paling penting dari subjek tidak segera jelas. Jauhkan membaca untuk mendapatkan gambaran yang lengkap.

Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menyatakan, korupsi biasanya juga dilakukan untuk proyek di daerah dengan kerja sama bersama pemerintah daerah (pemda).

Ia menuturkan, sebelum proyek dijalankan, sudah ditentukan terlebih dulu pembagian jatah untuk anggota dewan yang terlibat. Hal ini  dilakukan agar tak terjadi konflik antar mereka maupun dengan pemain di daerah. Ia menyebut orang-orang tersebut sebagai mafia anggaran dalam Senayan.

Potensi korupsi lainnya, lanjut Ade, adalah politisi di DPR menggunakankewenangannya untuk menerima suap dalam pemilihan posisi pejabat tinggi tertentu. Ia langsung merujuk pada kasus dugaan suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom. Dalam kasus itu sekitar 26 anggota dewan periode 1999-2004 diduga mendapat cek pelawat yang totalnya mencapai Rp 24 miliar.

"Potensi lainnya dalam pemilihan pejabat untuk posisi penting atau calon kepala daerah. Yang penting ada transaksi, kadang orang yang dipilih tidak ada hubungan bidangnya dalam jabatan. Ujung-ujungnya untuk kepentingan partai politik. Tidak hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka ada juga yang terpaksa rampok uang negara beramai-ramai.Cari sumber-sumber untuk pertahankan kekuasaan atau jabatan," paparnya.

Ade menilai, dengan kondisi politisi mencari sumber dana bagi partainya inilah yang menyebabkan partai cenderung melindungi anggotanya yang diduga melakukan korupsi.

"Pengakuan dari teman-teman partai itu begitu, biaya politik mahal sehingga mereka melakukan segala cara mencari sumber dana untuk partai. Inilah makanya partai tidak akan tegas untuk menindak anggotanya. Bahkan cenderung melindungi. Itu karena pemilu dan kegiatan politik butuh uang yang sangat besar," ujarnya.

Melihat korupsi politik yang muncul dari politikus ini, maka Ikrar menyatakan perlu adanya kewaspadaan dari Komisi Pemilihan Umum baik pusat maupun daerah perlu mewaspadai melihat calon-calon yang akan mengikuti Pemilihan Umum. Kalau tidak akan muncul bibit-bibit koruptor yang siap memangsa uang negara untuk biaya politik dan kekuasaan ke depan.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) agar tetap terjaga independensi, karena MK sering menjadi tempat terakhir dalam penyelesaian sengketa pemilu."KPU dan KPUD, Panwaslu juga Mahkamah Konstitusi harus teliti dan bersih menentukan siapa yang akan menjadi pemenang Pemilu," tandas Ikrar.

Begitulah keadaannya sekarang. Perlu diketahui bahwa setiap subjek dapat berubah dari waktu ke waktu, jadi pastikan Anda mengikuti berita terbaru.

Tidak ada komentar: